PARTNER

Kamis, 28 Oktober 2010

Bencana demi Bencana

Tampaknya memang bangsa indonesia kini tengah diberikan cobaan yang amat berat. Bencana alam seolah tak mau beranjak dari bumi pertiwi ini. Beberapa bulan belakangan ini saja sudah ada 3 musibah besar. Mulai dari tragedi banjir bandang di wasior, disusul dengan gempa dan tsunami di mentawai. Hanya berselang satu hari kemudian jawa tengah ditimpa musibah gunung meletus. Sungguh sangat memilukan, dan sayang sekali jika kita tidak mengambil hikmah dibalik setiap kejadian itu.
Banjir bandang di Wasior, Teluk Wondama, Papua. Menurut beberapa LSM mengatakan bahwa ada korelasi antara banjir bandang yang terjadi dengan kegiatan illegal logging yang dilakukan oleh perusahaan – perusahaan yang tidak bertanggung jawab. Namun, komentar kontradiktif muncul dari pemerintah. Pemerintah tetap bersikeras bahwa bencana tersebut bukan diakibatkan oleh illegal logging. Apakah ada kemungkinan untuk melindungi perusahaan – perusahaan pemegang HPH yang memang memberikan pemasukan yang cukup besar kepada pemerintah ? saya sendiri tidak tahu. Namun, apapun penyebabnya, apakah itu murni akibat cuaca ekstrim ataukah ada campur tangan manusia yang merusak hutan dengan tidak bertanggung jawab , atau karena alasan yang lainnya, seharusnya pemerintah secepatnya melakukan investigasi untuk mencari penyebab yang sebenarnya, bukan Cuma menyangkal apa yang dituduhkan oleh sejumlah pihak.

Hikmahnya, kita bisa melihat langsung bagaimana kondisi timur Indonesia ini. Wilayah yang mungkin jarang sekali diliput di media – media yang terlalu jawa sentris. Tidak hanya itu saja, musibah pun telah memaksa para pejabat tinggi termasuk presiden untuk mengujungi tanah papua ini. Semoga dari kunjungannya ini, memberikan kepedulian untuk membangun papua lebih baik lagi, sehingga tercipta pemertaan pembangunan sebagaimana yang diamanatkan oleh undang – undang.

Dilihat dari segi, humanismenya. Tentu musibah ini bisa mempertebal kepedulian kita kepada saudara – saudara diseluruh pulau di Indonesia. Sikap empati dan sikap persatuan dan kesatuan sehingga tidak ada lagi konflik – konflik horizontal terjadi, berganti dengan semangat persaudaraan seperti yang sering ditunjukan disetiap perampatan jalan yang menggalang dana kepedulian. Dari musibah ini juga semoga bisa menjadi entry poin bagi kita untuk berdamai dengan alam, hidup berdampingan dalam harmonisasi alamiah. Dan tentu saja pada akhirnya dari musibah tersebut, bisa memancing kita untuk lebih mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.

Itu di wasior. Lain halnya dengan di mentawai. Gempa 7.2 SR mengguncang pulau itu, yang kemudian disusul dengan gelombang tsunami yang menurut laporan mencapai ketinggian 3 M bahkan ada yang mengatakan hingga ketinggian 7 M. Kejadian ini kembali mengingatkan kita pada tragedi maha dahsyat yang menghantam aceh 2004 silam. Apakah dampaknya juga sama dengan yang terjadi di Aceh? Saya sendiri sampai saat ini belum begitu tahu, karena informasi yang ada masih simpang siur. Jarak, lumpuhnya saluran komunikasi dan juga masalah cuaca telah menjadi salah satu faktor penghambat media untuk memberikan informasi yang akurat.

Namun, ada yang menarik. Dari musibah ini, tampaknya kita terpaksa untuk mempertanyakan kembali kredibilitas BMKG sebagai institusi yang berwenang memberikan informasi seputar masalah bencana kegempaan. Beberapa menit setelah gempa menggoncang mentawai, muncul peringatan akan terjadinya tsunami, namun kemudian dicabut kembali yang ternyata setelah itu tsunami benar – benar terjadi. Entah apa yang terjadi dengan BMKG. Tidak hanya itu saja, media pun ternyata baru mengetahui adanya tsunami setelah beberapa lama. Jauh sekali dibandingkan dengan pelaporan bencana meletusnya gunung merapi. Jika dilihat dari jumlah korban yang sementara ini berhasil dihimpun, bencana mentawai telah memakan korban yang jauh lebih banyak dari bencana merapi [tanpa bermaksud mengecilkan arti dari bencana merapi]. Tentu jika dilihat dari hal tersebut, daya destruktif bencana mentawai jauh lebih besar. Dan saya tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi orang – orang yang berhasil selamat dari musibah itu. Lagi – lagi karena media tidak melaporkan kejadian tersebut seintens bencana merapi. Informasinya masih sangat sedikit sekali. Seharunya memang mentawai mendapatkan perhatian lebih, setidaknya jika dibandingkan dengan bencana merapi yang memang sudah melakukan early warning system dengan tepat meskipun masih memakan korban jiwa.

Inilah yang menjadi titik poin saya. Mengapa media memberikan perhatian jauh lebih besar kepada bencana merapi daripada bencana mentawai yang diketahui memakan jumlah korban lebih banyak ?
Maksudnya bukan jangan meliput bencana merapi. Tapi jika merapi mendapatkan porsi perhatian sebegitu besarnya, seharusnya mentawai juga diberikan perhatian yang lebih besar.

Tapi semoga saja pemerintah memberikan perhatian yang berimbang terhadap kedua bencana yang hampir terjadi bersamaan ini sehingga tanggap darurat bencana bisa dilakukan dengan tepat dan bisa menekan jumlah korban dikedua bencana itu.
Sekarang bencana merapi. Gunung teraktif ini “batuk” tiga kali dan seperti biasanya menyeburkan wedhus gembel yang mematikan. Bersyukur prosedur pemantauan berjalan dengan baik sehinga masyarakat dapat diungsikan tepat pada waktunya, meskipun masih memakan korban jiwa hingga 26 orang setidaknya upaya tersebut mungkin sudah berhasil menekan jumlah korban jiwa yang mungkin bisa saja jauh lebih besar jika early warning system tidak berjalan dengan semestinya.

Semanjak merapi naik statusnya menjadi awas, sejumlah aparat dan petugas sudah disiagakan penuh untuk mengawal evakuasi warga. Barak – barak pengungsian pun sudah didirikan, ambulance, dan juga tenaga medis sudah disiapkan jika sewaktu – waktu bencana itu terjadi. Sehingga sampai waktunya tiba, mereka semua tidak “gagap” menghadapi situasi yang ada.

Bencana selalu melahirkan pahlawan – pahlawan baru, selalu saja ada cerita heroic yang bisa menjadi pelajaran bagi kita yang masih dianugerahi nikmat untuk beribadah. Ya, dialah Mbah Maridjan sang juru kunci merapi [ikut berbela sungkawa atas meninggalnya mbah maridjan].

Mbah Maridjan menjadi salah satu korban dalam musibah itu. Ia ditemukan tewas di dalam rumahnya dalam posisi bersujud. Baju batik dan kain sarung yang menjadi ciri khasnya masih melekat dibadannya yang melepuh akibat terjangan awan panas. Sementara itu masih terdapat belasan orang lainnya yang ikut tewas dalam kejadian tersebut. Rumah dan masjid disekitar lokasi, tampak sudah tidak utuh lagi. Kerusakan terdapat disejumlah bagian seperti atap yang roboh, terbakar, hewan – hewan peliharaan yang mati, pepohonan yang terbakar dan tebalnya abu vulanik yang menutupi seluruh areal yang hanya berjarak 4 KM dari puncak merapi itu. Saya sendiri sampai teringat akan bencana Chernobyl saat reactor nuklir meledak didaerah tersebut, kerusakan yang ditimbulkan hampir mirip kondisinya. Tidak ada seorang pun yang tidak tersentuh melihat kondisi itu. Saya sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana kejadian itu berlangsung.

Mbah maridjan kini telah menjadi tauladan baru yang menginspirasi banyak orang. Kesetiaannya dalam melaksanakan tugas, keikhlasannya dan tanggung jawabnya memangku jabatan telah menjadi hal yang langka kita temukan akhir – akhir ini. Dia menjadi representasi dari “si putih” ditengah kelakuan para pejabat negeri ini. Disaat yang bersamaan, study banding anggota BK DPR RI yang controversial itu tetap terlaksana. Seharusnya mereka tidak perlu sampai ke Yunani untuk belajar etika, tidak usah jauh – jauh dan tentu saja akan lebih ekonomis jika mereka study banding saja ke merapi, mencontoh etika mbah maridjan dalam menjalankan tugas yang setia hingga akhir hayatnya. Semoga ia diterima disisi – Nya.

Akhirnya, marilah kita bersama – sama berkaca, introspeksi dan mulailah berubah menjadi lebih baik.

Tidak ada komentar: