Peran Media dalam Masyarakat Demokratis
Media sudah seharusnya menjadi arena ruang public terbuka dalam masyarakat pluralis demokratis yang menyediakan saluran komunikasi terbuka yang mampu menampung suara – suara dari golongan minoritas.
Bagaimanakah seharusnya peranan media dalam masyarakat yang demokratis, khususnya dalam kaitannya dengan perjuangan kelompok minoritas? Kajian media di dunia barat terdahulu telah mendefinisikan media sebagai “fourth estate” atau pilar keempat (Eldrige, 1995). Media sebagai pilar keempat mengacu pada peran media dalam mewujudkan cita – cita demokrasi, berdiri secara independen ditengah institusi pemerintah, mengawasi aktivitas politik dan menyediakan ruang publik guna terselenggaranya debat umum. Peran ini berdasarkan atas asumsi kaum liberal yang mengatakan bahwa media berjalan dalam masyarakat yang plural. Masyarakat pluralis tercipta dari berbagai kelompok social yang berbeda – beda dengan berbagai macam kepentingan didalamnya yang kesemuanya punya hak untuk bisa didengar dalam arena perpolitikan. Tidak ada satupun kelompok yang berhak mendominasi. Indonesia merupakan salah satu Negara demokratis dengan berbagai keanekaragaman didalamnya dan menyajikan bahan yang menarik untuk kita, guna melakukan pendekatan dalam kajian media di tengah masyarakat yang demokratis.
Media diharapkan mampu menjaga agar masyarakat atau warga Negara tercerahkan tentang isu – isu politik dan diharapkan mampu menjadi “watch dog” yang selalu mengawasi segala aktivitas perpolitikan, memperingatkan masyarakat ketika terjadi ketidak-beresan dengan aktivitas politik para elit. Peran media sebagai fourth estate, sesuai dengan konsep Jurgen Habermas tentang Public Sphere atau ruang public dimana warga Negara memiliki kesempatan yang luas untuk berpartisipasi secara aktif dan ikut menciptakan opini public yang pada gilirannya diharapkan akan mampu memberikan kontribusi bagi aktivitas politik untuk menciptakan suasana yang demokratis (Graber, 1992). Idealnya, ruang public mampu berperan sebagai pasar dimana ide – ide bermunculan yang pada gilirannya mampu menyediakan informasi – informasi yang relevan dengan situasi politik sehingga masyarakat menjadi melek politik, misalnya dalam bentuk berita, ide – ide, diskusi – diskusi, debat politik, dll (Dahlgren, 1995).
Dahlgren (1995) menggarisbawahi bahwa ketika masyarakat berhadapan dengan sejumlah informasi yang relevan, maka mereka akan merefleksikan, mendiskusikan dan membentuk opini serta melahirkan sejumlah pandangan yang memandunya dalam memahami keinginan dan aktivitas – aktivitas politis. Pada akhirnya, pandangan – pandangan tersebut akan diartikulasikan dalam ruang public sebagai salah satu persiapan atas tindakan – tindakan politis lewat mekanisme yang ada.
Meningkatnya kompleksitas masyarakat dan mobilitas seperti yang digambarkan pada masyarakat di akhir abad dua puluh dan pada awal abad 21 ini, telah mendorong media untuk memiliki peran yang lebih menentukan dalam memfasilitasi aktivitas – aktivitas dialog diantara warga Negara (Husband, 2000). Curran (1991), menjelaskan pentingnya daya kritis masyarakat dalam kaitannya antara media dan fungsinya sebagai public sphere ;
Ia mengatakan bahwa berdasarkan pada teori klasik, ruang public adalah ruang yang menjembatani antara pemerintah dengan masyarakat dimana tiap – tiap individu berlatih secara formal dan informal untuk mengawasi jalannya pemerintahan: kontrol formal dilakukan lewat pemilihan pemerintahan dan kontrol informal dilakukan lewat tekanan – tekanan yang diberikan lewat opini – opini public yang berhasil diciptakan. Media merupakan pusat dari proses tersebut. Mereka menyebarkan informasi – informasi yang penting kepada masyarakat atau warga Negara, guna menyediakan pilihan – pilihan yang jelas ketika tiba saatnya waktu pemilihan, mereka menyediakan wadah atau media untuk menyelenggarakan debat public, dan mereka juga menyediakan ruang kepada masyarakat untuk menyuarakan hak – haknya dan menyampaian pendangannya guna membentuk, mengkritik atau mendukung aktivitas pemerintahan. Media juga merupakan institusi yang paling mendasar guna terciptanya ruang publik atau dalam pandangan retorika kaum liberal pada abad ke 19 sebagai “pilar keempat bagi Negara demokratis”
Husband (2000) mengembangkan teori ruang public kedalam area yang lebih luas, yakni ruang public multi-etnis. Graham Murdock (1994: 4) memberikan pendapatnya mengenai hak – hak warga Negara dalam masyarakat yang multi – etnis, ia berpendapat bahwa seluruh warga negara sudah seharusnya memiliki hak – hak yang sama untuk meyuarakan pendapatnya dalam lingkungan yang demokratis “hak – hak komunikasi, hak – haknya akan hubungan antara produksi dan sirkulasi pengetahuan politis dan ruang public yang menjadi pusat bagi berbagai definisi kewarga-negaraan yang seutuhnya dalam lingkungan yang demokratis. Ia mendefinisikan kewarganegaraan sebagai hak untuk berpartisipasi secara utuh dalam berbagai pola struktur social, politik dan kehidupan cultural serta untuk membantu mereka menciptakan bentuk – bentuk yang selanjutnya, dengan begitu maka memperluas ide – ide T.H Marshall dengan cara mengidentifikasi empat hal yang paling utama atas hak berpendapat bagi warga warga Negara. Ia yakin bahwa informasi dan hak – hak cultural hanya dapat dijamin oleh ketersediaan wadah diskursif yang terbuka berdasarkan pada prasyarat institusional yang paling mendasar (Murdock, 1994: 5), seperti misalnya ruang tersebut harus terbebas dari kepentingan pemerintah / independen. Hal ini dinilai sangat penting ketika masyarakat meyakini bahwa media berperan sebagai watch dog yang akan senantiasa mengawasi aktivitas politik pemerintah. Disisi lain, ia meyakini bahwa oleh karena representasi didalamnya mencakup atau meliputi adanya delegasi social tertentu yang mana hal itu pasti merupakan system yang kuat untuk menjamin akuntabilitas dan partisipasi yang cukup.
Dia menekankan bahwa system komunikasi yang terbuka yang terdapat dalam masyarakat demokratis harus mendukung pada kondisi keberagaman dan memperbolehkan hadirnya keberagaman suara dan pendapat supaya muncul dalam pola – pola produksi public dan harus secara universal dapat diakses guna mengeksplorasi perbedaan – perbedaan yang ada.
Murdock mempertimbangkan apakan kajian Said (1993: 23 – 36) mampu memyediakan jawaban atas pertanyaan – pertanyaan tersebut. Said percaya bahwa meskipun kelompok – kelompok social yang berbeda misalnya perempuan, orang – orang cacat, orang tua dan kelompok anak muda ditekan untuk “representasi dan perhatian yang lebih besar atas klaim dan kepentingannya”. Penyerangan yang paling penting adalah yang mengarah kepada inti dari pengertian budaya nasional dan pada “keakraban akan tetapi hubungan yang menindas dengan pengalaman kolonialisme”. Murdock mempetimbangkan apakah budaya nasional meliputi kepentingan – kepentingan minoritas didalamnya, budaya dan siapakah yang direpresentasikan sebagai budaya nasional.
Keinginan akan representasi yang berkembang mungkin berada dibawah peran budaya nasional dalam system penyiaran. Inilah sebabnya perusahaan penyiaran, seperti halnya perusahaan lainnya, memiliki tujuan yang sama yakni menciptakan keuntungan sebesar – besarnya. Seperti yang dikatakan Murdock bahwa program – program atau siaran – siaran komunitas tetap marjinal dan berbahaya, memberikan hadiah bukan sebaliknya yakni memberikan hak, tatkala saluran – saluran minoritas terus diidentifikasikan dalam konteks pasar daripada kepentingan sosialnya. Saluran – saluran tersebut dibuat untuk memerlihatkan kepentingan – kepentingan tertentu. Dimana layanan – layanan saluran kabel dan satelit hanya tersedia bagi mereka yang mampu membayar harga yang ditetapkan oleh operatornya.
Akhirnya, Murdock menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak perlu adanya kelas pertama dan kelas ketiga, dan bahwa layanan penyiaran public tidak menyediakan apa – apa selain kepada mereka yang mampu memberika bayaran lebih atau kepada mereka yang dinilai pantas mendapatkan perhatian. Sejumlah pendapat yang berasal dari Murdock cukup bermanfaat untuk menjelaskan bagaimana hubungan yang tercipta antara kelompok etnis minoritas dan media.