PARTNER

Kamis, 09 Juli 2009

Tradisi Semoitika dalam Ranah Ilmu Komunikasi

Tradisi ini melihat komunikasi sebagai sebuah proses produksi dan pertukaran makna. Mazhab ini menaruh perhatian serius kepada bagaimana pesan berhubungan dengan penerimanya dalam memproduksi makna. Message atau pesan dalam mazhab ini disebut sebagai teks. Dalam kaitannya dengan produk media, seluruh pesan media dalam bentuk tulisan, visual, audio, bahkan audiovisual sekalipun akan dianggap sebagai teks. Jangkauan pemaknaan akan sangat tergantung pada pengalaman budaya dari receiver, yang dalam tradisi semiotik disebut sebagai ‘pembaca’ (reader). Tradisi semiotika tidak pernah menganggap terdapatnya kegagalan pemaknaan, karena setiap ‘pembaca’ mempunyai pengalaman budaya yang relatif berbeda, sehingga pemaknaan diserahkan kepada pembaca. Dengan demikian istilah kegagalan komunikasi (misscommunication) tidak pernah berlaku dalam tradisi ini, karena setiap orang berhak memaknai teks dengan cara yang berbeda. Maka makna menjadi sebuah pengertian yang cair, tergantung pada frame budaya pembacanya .
Charles Sanders Pierce menggunakan teori segitiga makna dalam memahami komunikasi sebagai proses produksi makna. Segitiga ini terdiri dari sign, object dan interpretant.
Salah satu bentuk tanda adalah kata. Sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang ada dibenak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Jika ketiga elemen makna itu berinteraksi satu sama lainnya, maka munculah makna yang diwakili oleh tanda itu sendiri.
Keberadaan media menurut Pierce tidak bisa dianggap netral dalam memberikan jasa informasi dan hiburan kepada khalayaknya. Media massa tidak hanya dianggap sekedar sebagai hubungan antara pengirim pesan pada satu pihak dengan penerima pesan di pihak lain. Akan tetapi media dapat dilihat pula sebagai produksi dan pertukaran makna yang menitikberatkan pada bagaimana pesan atau teks harus berinteraksi dengan orang untuk memproduksi makna berkaitan dengan peran teks didalam kebudayaan.

Perpsektif Interpretatif dan Obyektif dalam Penelitian Ilmu Komunikasi

A theory is not just an explanation it is a way of packaging reality, a way of understanding it. Human beings always represent reality symbolically, and we are always operating in the realm of theory. A theory is a system of thought, a way of looking, we can never ‘view” reality purely. Instead, we must use a set of concept and symbols to define what we see, and our theories provide the lenses with which we observe and experience the world.(Teori tidak hanya dipahami sebagai sebuah penjelasan semata, akan tetapi lebih dari itu sebuah teori merupakan sebuah sistem mengenai cara berfikir dan bagaimana memahami dan melihat sesuatu, serta teori merupakan jalan untuk mengemas realitas dan bagaimana caranya memahaminya. Dengan memakai teori, maka kita akan mampu menjelajahi dan memahami dunia berserta dengan fenomena – fenomena yang terjadi didalamnya).

Berbicara mengenai teori, Griffin dalam bukunya A First Look at Communication Sciene membagi dua perspektif utama dalam memahami fenomena - fenomena sosial yang diilakukan lewat sebuah penelitian khususnya dalam kajian ilmu komunikasi. Yakni perspektif obyektif dan perspektif interpretatif.
Baik itu perspektif obyektif maupun perspektif interpretatif, keduanya berada dalam jalur ilmu sosial, namun demikian terdapat perbedaan sebagaimana yang diungkapkan Littlejohn bahwa perspektif interpretative ditandai dengan adanya sebuah pemahaman atau interpretasi yang kreatif dari peneliti yang artinya juga membuka sisi – sisi subyektifitas peneliti. Mengingat ilmu komunikasi merupakan salah satu ilmu yang berada dalam jalur ilmu sosial atau humanitis, maka kedua perspektif ini secara langsung memberikan pengaruh yang cukup besar dalam kajian ilmu komunikasi.
Meskipun kedua perspektif ini dapat diterapkan dalam penelitian komunikasi, akan tetapi baik itu perspektif obyektif maupun perspektif interpretatif memiliki sejumlah perbedaan dalam beberapa hal, antara lain dalam hal metode penelitian yang digunakan, pengambilan kesimpulan penelitian serta bagaimana posisi peneliti ketika memulai penelitian.
Para penganut aliran interpretative meyakini bahwa kebenaran bersifat subjektif dan makna dapat dipahami dari hasil interpretasi subyektif, serta meyakini bahwa teks memiliki makna yang beragam tergantung dari subyek yang menginterpretasikannya.
Perspektif interpretatif juga meyakini bahwa realitas dipandang sebagai bentukan dari interaksi manusia yang penuh dengan makna atau meaningfull social action. Maka dari itu, realitas dipahami sebagai pemaknaan (meaning) dimana hanya bisa ditafsirkan atau verstehen dan hendak dilukiskan secara mendalam. Pandangan ini sesuai dengan filsafat rasionalitas yang memandang bahwa individu dengan rasionalitasnya mampu menemukan kebenaran, bahkan filsafat ini meyakini bahwa kebenaran tersebut sebenarnya sudah ada dalam diri manusia itu sendiri, karenanya tidak dicari diluar dirinya. Karena dasar ilmu pengetahuan kemudian berasal dari rasionalitas manusia atau pemaknaan tadi maka ilmu pengetahuan itu tidak bersifat objektif dan tidak bersifat universal. Ilmu pengetahuan semata menggambarkan kekhasan pengalaman suatu kelompok manusia dalam konteks tertentu.
Terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi supaya teori interpretatif dapat dikatakan baik, antara lain; Pertama, harus mampu menawarkan gagasan – gagasan baru dan memberikan pemahaman baru pula yang bermanfaat bagi dunia. Kedua, teori interpretatif harus mampu membawa nilai – nilai kemanusiaan kearah nilai yang terbuka. Ketiga, mampu membangkitkan semangat estetis. Artinya bahwa hal ini akan mampu membangkitkan imajinasi para peneliti dalam menginterpretasikan sesuatu. Keempat, teori interpretatif dikatakan baik jika hasil penelitiannya banyak disepakati dan didukung oleh pihak lain dari disiplin ilmu sejenis, meskipun pada dasarnya dihasilkan dari interpretasi subyektif akan tetapi dukungan dari pihak lain dapat membuat hasil penelitian tersebut terlihat teruji validitasnya. Kelima, bahwa teori interpretatif bisa dikatakan baik jika hasilnya dapat memberikan manfaat positif bagi masyarakat.
sekarang kita sedikit membahas mengenai perspektif obyektif. perpsektif ini meyakini bahwa hanya ada satu kebenaran diluar sana, hanya ada satu realitas diuar sana yang tengah menanti kita untuk mengungkapkannya dengan menggunakan panca indera yang kita miliki. Bagi penganut perspektif ini, prinsip seing is believing dipegang teguh. Mereka juga percaya jika satu prinsip telah berhasil diketahui dan telah dinyatakan valid, maka selamanya ia akan diyakini sebagai kebenaran selama kondisi dan situasinya relative sama.
Berkaitan dengan perilaku manusia, perspektif ini menyakini bahwa perilaku manusia merupakan hasil bentukan dari factor luar yang sifatnya memaksa dan berada di luar kesadarannya. Perilaku terbentuk dari hasil hubungan antara stimulus – respon.
Penganut aliran ini menjunjung tinggi prinsip – prinsip obyektifitas semenjak mereka meyakini bahwa hanya ada satu kebenaran di luar sana. Para penganutnya berupaya untuk membuat sebuah hukum universal yang mampu menjawab berbagai macam fenomena perilaku manusia yang hadir dalam berbagai situasi. Yakni dengan cara menguji hipotesis atau membuat hipotesis dan kemudian membuktikannya atau mengujinya. Dalam pengujiannya ini, metode penelitian yang secara umum digunakan adalah dengan menggunakan metode eksperimen dan survey yang kerap digunakan dengan jenis penelitian kuantitatif.